Gumpalan awan hitam menyelimuti langit. Perahu kayu yang mengangkut penumpang ke Pulo Breuh, Aceh Besar, mulai bergoyang keras dihantam badai yang datang tiba-tiba. Para penumpang merapat ke tengah perahu, menghindari cipratan ombak.
Saya dan beberapa anggota Tim Gampong Film yang duduk di bagian belakang perahu, menutup diri dengan lembaran plastik besar agar tidak terkena pecahan ombak. Fauzi, anggota Tim Gampong Film, bergegas menutup beberapa alat pemutaran film yang ditaruh di dek.
Tak lama, hujan turun. Para penumpang mencari tempat berlindung sebisa mungkin. Kami bertahan dengan plastik besar tadi, meskipun celana basah. Pulo Breuh masih setengah jam lagi. Perahu ini masih berjuang di tengah badai.
“Coba cek proyektor di ruang kemudi ada kena air!” perintah Jamaluddin Phonna kepada saya. Jamal Direktur Aceh Film Festival (AFF). Saya bergegas mengecek. Aman. Proyektor ini barang inti dari perjalanan kami yang harus dijaga baik-baik. Pantulan cahayanya yang bisa membuat acara ini berjalan dengan baik.
Ada lima orang Tim Gampong Film dan ditambah Eileena dari Anti Corruption Film Festival (ACFFEST) yang berangkat ke Pulo Breuh. Fahmi, yang akan menjadi pembicara dalam kegiatan ini, berangkat keesokan harinya.
Ketika arus Lampuyang terlihat dengan mata, hujan mulai berhenti. Cahaya matahari pun mulai muncul. Kami tiba di Pulo Breuh lewat dari pukul 16.00 waktu Aceh. Setelah menurunkan barang-barang ke dalam mobil pick up, kami beristirahat di warung kopi di dermaga Lampuyang, sebelum akhirnya berangkat menuju penginapan.
***
Pulau Breuh salah satu pulau terbarat Indonesia dengan keindahan alam yang masih murni. Berbeda dengan Sabang, pulau ini tidak banyak didatangi turis. Akses ke Pulo Breuh hanya bisa ditempuh mengunakan perahu penumpang yang berangkat antara pukul 13.00-14.00 setiap hari, kecuali Jumat. Secara admintrasi Pulo Breuh masuk wilayah Aceh Besar, meskipun aksesnya lebih dekat dari Banda Aceh.
Pulo Breuh menjadi titik terakhir rangkaian tour pemutaran Gampong Film. Kami memutar film di halaman Sekolah Dasar Gampong Meulingge pada Rabu, 16 Oktober 2024. Ada tiga titik lain yang telah disinggahi Gampong Film tahun ini, yakni di Iboih (Sabang), Deah Glumpang (Banda Aceh), dan Lamteuba (Aceh Besar).
Yayasan Aceh Documentary (Adoc) menggelar Gampong Film pertama kali pada 2015. Sejak saat itu, Adoc terus menghadirkan sinema ke kampung-kampung pendalaman di Aceh. Kini, Gampong Film menjadi program utama AFF yang juga dikelola Adoc.
“Selama kami melaksanakan Gampong Film, kami selalu menemukan para tetua yang memiliki pengalaman menonton layar tancap, yang mana hal itu sudah jarang ada di Aceh. Saya rasa Gampong Film ini penting sebagai ruang menikmati sinema di Aceh,” sebut Jamal.
Tahun ini, AFF bekerjasama dengan ACFFEST serta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
“Kerjasama ini cukup menarik. Kami menganggapnya sebagai respons atas banyaknya pemberitaan tentang korupsi di kampung-kampung oleh kepala desa. Jadi juga bisa dilihat untuk menyampaikan pesan anti korupsi, tema Gampong Film kali ini juga cukup jelas, ‘Tulak Korupsi dari Gampong’,” imbuh Jamal.
Medio Venda, Kepala Satuan Tugas Direktorat Sosialisasi dan Kampanye AntiKorupsi KPK mengatakan kepada kami, “film lebih mudah untuk diterima oleh masyarakat lebih luas. Harapanya, penayangan film-film ini tidak hanya menjadi hiburan semata, tetap juga mempu menumbuhkan kepedulian kita terhadap isu korupsi dan memperkuat sikap antikorupsi di berbagai level masyarakat. Pemberantasan korupsi dimulai dari diri sendiri, dari kesadaran kecil, hingga perubahan besar.”
Tim Gampong Film telah memilih enam film dari yang disediakan oleh ACFFEST, di antaranya, Kurang 2 Ons, Persenan, Titip Sandal, Jastip, Unbaedah, dan Hitler Mati di Surabaya.
“Film-film itu kami pilih karena kami rasa ceritanya universal dan cocok bagi masyarakat Aceh. Semuanya memberi pelajaran dampak buruk dari korupsi. Film-film itu juga akan diputar berbarengan dengan film-film dari Aceh,” kata Akbar, programmer Gampong Film.
***
Tidak banyak penginapan di Pulo Aceh, apalagi hotel atau vila. Maka, kami menginap di kantor Lembaga Ekowisata Pulo Aceh (LEPA) di Gampong Gugop. LEPA merupakan lembaga swadaya masyarakat di bidang ekowisata dan konservasi penyu.
Setelah beristirahat beberapa jam dan makan siang, kami menyiapkan peralatan pemutaran dilm. Lalu memasang stiker Gampong Film pada mobil pick up yang telah kami sewa.
Jarak Gugop ke Meulingge sekira 40 hingga 50 menit dengan mobil. Di sepanjang perjalanan, kita akan disungguhi pemandangan gunung menjulang dan pantai.
Kami tiba di Meulingge 9 menit sebelum azan ashar. Tim bergegas membentangkan layar dan mempersiapkan peralatan lain untuk pemutaran film di halaman SD Meulingge. Beberapa warga juga datang membantu.
Saya mengecek telepon seluler, tidak ada sinyal.
Pukul 20.30 acara pemutaran film dimulai. Namun, saat Zikra hendak membuka acara, tiba-tiba hujan turun deras. Padahal sejak seharian cuaca cerah. Tim Gampong Film dibantu warga menyelamatkan proyektor dan menutup sound dengan plastik. Warga lain, yang kebanyakan ibu-ibu, mencari tempat berlarian ke beranda depan kelas.
“Ibu-ibu, bapak-bapak, dan adek-adek, pemutaran tetap akan kita lanjutkan. Kita tunggu hujan reda ya!” kata Zikra. Tim awalnya sempat panik karena mengira warga pulang dan meninggalkan tempat pemutaran. Namun, hingga hujan reda penonton masih memadati beranda kelas SD Meulingge.
Pemutaran film baru dimulai sekitar pukul 22.00. Seperti di ketiga titik lainya, acara dimulai dengan kuis.
“Siapa yang tahu kepanjangan dari KPK?,” tanya Zikra.
Tak ada yang menunjuk tangan. Zikra bertanya sekali lagi. Seorang anak kecil yang duduk di depan mengangkat tangannya.
“Komisi Pemberantasan Korupsi!” jawab anak itu. Tepuk tangan dan sorakan tertuju padanya. Tim Gampong Film menyerahkan hadiah, berupa tote bag berisi kaos dan tumblr.
“Semoga film-film yang akan kami putar bisa menghibur warga Gampong Meulingge khususnya dan seluruh warga Pulo Breuh yang telah hadir ke tempat ini. Nanti juga, kami akan memutar film yang lokasi shootingnya di Pulo Aceh, coba bapak ibu dan adik-adik perhatikan, mungkin ada wajah kalian dalam film itu,” ujar Jamal ketika menyampaikan kata sambutan.
Pemutaran dimulai. Saya duduk di antara para ibu-ibu dan anak-anak. Saya ingin melihat reaksi mereka terhadap film. Sepanjang pemutaran para penonton tertawa. Film pertama yang diputar adalah Titip Sendal, bercerita tentang antrian vaksin di sebuah kampung terapung. Para ibu-ibu menitip sandal kepada teman dan anak mereka yang bekerja sebagai petugas kesehatan. Konflik dalam film bermula dari sana, hingga menyebabkan lantai kayu itu roboh, membuat para ibu-ibu yang bertengkar jatuh ke dalam air.
Film selanjutnya, Jastip (Jasa Tipu-tipu), bercerita tentang dua anak muda yang menjual madu di media sosial. Usaha mereka kemudian dilirik oleh seorang politisi, yang ingin memberi modal untuk usaha mereka. Namun, salah satu dari mereka menolak walau akhirnya mereka menerimanya. Wajah politisi terpampang di botol madu usaha mereka. Lalu, karena tidak bisa mencukupi madu, mereka mengolah madu tersebut, madu yang dijual bukan madu asli, melainkan hasil olahan.
“Meskipun film yang diputar tidak menjelaskan secara jelas tentang korupsi dalam praktik yang sering kita lihat di tivi, seperti korupsi uang. Ini adalah bentuk lain dari korupsi, jadi korupsi bukan hanya soal uang. Bahkan soal antrian juga bisa termasuk. Saya rasa ini penting dikampanyekan,” ujar Fahmi selaku pembicara dalam diskusi. Dia aktivis sosial dan lingkungan.
Pulo Rempah jadi film terakhir yang diputar. Film yang setting-nya di Pulo Breuh, bercerita tentang seorang anak kecil yang tinggal di kota, lalu pulang ke kampung halamannya. Di Pulo Breuh dia mendapatkan pelajaran dan sejarah tentang Pulo Breuh. Film ini membuat penonton tertawa geli karena beberapa aktor mereka kenal. Juga, mereka takjub melihat Pulo Breuh yang begitu indah.
Kepala Desa Meulingge Muhammad Dahlan menilai pemutaran film penting untuk menyadarkan warga tentang arti korupsi.
“Kegiatan seperti ini sangat penting untuk terus dilakukan. Menyadarkan para pemuda di kampung tentang apa itu korupsi. Yang paling penting untuk keterbukaan dalam mengelola kampung.”[]
Komentar
Tanggapilah dengan bijak dan bertanggung jawab. Setiap tanggapan komentar di luar tanggung jawab redaksi. Privacy Policy