Khutbah Jumat: Cara Memuliakan Tamu dalam Ajaran Islam

memuliakan tamu dalam Islam
Ilustrasi memuliakan tamu. Foto: detik.com

Hadirin Sidang Jumat yang dirahmati Allah!

Hari-hari ini, bangsa Indonesia kedatangan tamu mulia, yaitu Imam Masjid Nabawi, Syaikh Ahmad bin Ali Al-Hudzaifi yang datang dengan membawa beberapa agenda, yaitu penguatan kerjasama Indonesia dan Arab Saudi serta pertukaran pengalaman pemahaman dan praktik keagamaan yang moderat dan universal.

Kedatangan Imam Masjid Nabawi ini adalah keistimewaan bagi Indonesia, sehingga harus dihormati layaknya Islam menganjurkan menghormati tamu. Kedatangan Imam Masjid Nabawi di Indonesia disambut dengan baik dan hangat oleh seluruh masyarakat khususnya Muslim Indonesia dengan rangakaian kegiatan di beberapa tempat sejak hari Selasa, 8 Oktober, hingga hari Jum’at, 11 Oktober.

Agama Islam membawa ajaran universal yang tidak hanya menyentuh aspek ibadah kepada Allah, tetapi juga mengatur hubungan interaksi sesama manusia, termasuk pedoman berinteraksi kepada tamu yang datang. Secara umum, Rasulullah menjelaskan bahwa perilaku menghormati tamu adalah bagian dari implementasi kesempurnaan agama seseorang.

Penjelasan Rasulullah itu direkam oleh Imam al-Bukhari dalam kitab Shahih al-Bukhari, juz 8, halaman 32: “Siapa pun yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah ia menghormati dan menjamu tamu. Jamuannya adalah kebutuhan hidup siang dan malam hari. Keutamaan menjamu tamu adalah selama tiga hari, sedangakan setelahnya dianggap sedekah”.

Dalam hadis itu, menghormati tamu dilakukan dengan menjamu dan memenuhi kebutuhan sehari-hari tamu. Memberi makan dan minuman tamu juga dianjurkan dengan makanan dan minuman yang disukai oleh tamu agar dapat memberikan kenyamanan dan kesenangan dalam hati.

Nabi Ibrahim sudah mempraktikkannya dengan menghidangkan makanan dalam bentuk olahan daging sapi kepada tamu (Malaikat) yang datang ke rumah. Seperti firman Allah SWT dalam surat Adz-Dzariyat, ayat 24-27, yang artinya: “Sudahkah sampai kepadamu (Nabi Muhammad) cerita tentang tamu Ibrahim (malaikat-malaikat) yang dimuliakan? Ketika mereka bertamu kepadanya, lalu mengucapkan salam, Ibrahim menjawab salam. Mereka bukan orang-orang yang dikenal. Ibrahim pergi diam-diam menemui keluarganya, lalu kembali membawa daging bakar anak sapi gemuk. Dia menghidangkannya kepada mereka, (tetapi mereka tidak makan). Ibrahim berkata, mengapa kamu tidak makan?”

Hadirin Sidang Jumat yang dirahmati Allah

Menjamu tamu dengan makanan adalah bentuk penghormatan dan tanggung jawab tuan rumah karena tamu yang datang menjadi bagian dari anggota rumah tersebut untuk diberikan kebutuhan pangan dan sebagainya selama menjadi tamu.

Hal itu tidak memberatkan dalam pandangan para ulama, mereka justru merasa bahagia dengan kehadiran tamu. Seperti yang jelaskan imam Yahya ibn Mu’adz yang dikutip oleh imam ats-Tsa’alabi dalam kitab At-Tamtsil wal Muhadharah, halaman 430: “Seandainya seluruh dunia ini berupa satu suapan yang ada di tanganku, maka akan aku berikan/suguhkan untuk (mulut) tamuku”.

Memenuhi kebutuhan tamu adalah bentuk pengorbanan tuan rumah, tetapi jika dilihat dari sisi yang berbeda, maka akan mendatangkan keberkahan bagi tuan rumah. Imam Syaqiq al-Balkhi menjelaskannya seperti dikutip oleh Imam adz-Dzahabi dalam kitab Siyar A’lamin Nubala’, juz 9, halaman 315: “Tidak ada hal yang lebih aku senangi, melainkan kehadiran tamu, karena rezekinya sudah ditanggung oleh Allah, sedangkan pahalanya diberikan untukku”.

Sidang Jumat yang dirahmati Allah

Di sisi lain, menghormati tamu tidak sekadar menjamu dan menyuguhkan makanan dan minuman, tetapi ada hal yang lebih mulia dan universal lagi, yaitu memberikan kenyamanan dan kesenangan kepada tamu. Imam al-Awza’i menegaskan soal ini seperti dikutip oleh Imam al-Ghazali dalam kitab Ihya’ ‘Ulumid Din, juz 2, halaman 18: “Imam al-Awza’i pernah ditanya, apa yang dimaksud memuliakan tamu? Ia menjawab, menatap wajah dengan ramah dan berbicara dengan santun”.

Memberikan kenyamanan dan kesenangan merupakan sesuatu yang paling dibutuhkan oleh seorang tamu. Hal ini juga paling dirasakan oleh tamu sebagai bentuk penghormatan dari tuan rumah. Oleh karena itu, hal paling pertama dilakukan tuan rumah terhadap tamu adalah menjawab salam atau sapaan tamu. Ucapan salam yang merupakan tradisi keagamaan adalah ungkapan keharmonisan suasana yang lahir dari orang yang mengucapkannya. Hal ini tegaskan oleh imam Badrud Din al-‘Ayni dalam kitab ‘Umdatul Qari Syarh Shahihil Bukhari, juz 1, halaman 136: “Menyebarkan (mengucapkan) salam yang merupakan tanda ungkapan kerendahan hati, harmonisasi hati, keselarasan ucapan, dan saling cinta serta kasih di antara umat Islam”.

Hadirin sidang Jumat yang dirahmati Allah!

Kehadiran tamu agung, yaitu Imam Masjid Nabawi (secara khusus) dengan beberapa tujuan mulia tentu menjadi harapan bagi kita semua agar hubungan dan ikatan baik antara Indonesia dan Arab Saudi dapat terjalin dengan baik selamanya. Hal ini juga untuk menguatkan persaudaraan dan harmonisasi seluruh umat Islam dan manusia pada umumnya dalam rangka menciptakan kehidupan yang damai dan tenang.

Secara umum, tamu yang datang ke rumah kita pada hakikatnya adalah bentuk kasih sayang Allah yang datang kepada kita. Kita juga berharap dengan menghidupkan ajaran Islam yang mulia, termasuk menghormati tamu, kita selalu diberikan keberkahan oleh Allah SWT. Amin, ya Rabbal ‘Alamin.

Komentar

Tanggapilah dengan bijak dan bertanggung jawab. Setiap tanggapan komentar di luar tanggung jawab redaksi. Privacy Policy