Ketika Brigjen TNI Yudi Yulistyanto Ungkap Ketertarikan hingga Harapan akan Sejarah di Aceh

Brigjen TNI Yudi Yulistyanto diskusi di Mapesa
Irdam IM Brigjen TNI Yudi Yulistyanto (paling kiri) saat menjadi narasumber diskusi sejarah di Sekretariat Bersama Mapesa dan Pedir Museum di Banda Aceh, Sabtu, 15 Maret 2025. Foto: Mapesa

Banda Aceh – Inspektur Kodam Iskandar Muda (Irdam IM), Brigadir Jenderal TNI Yudi Yulistyanto mengungkapkan ketertarikan, keunikan, dan ekspektasi tinggalan sejarah di Aceh. Jenderal bintang satu itu juga menyampaikan eksistensi masyarakat Peduli Sejarah Aceh (Mapesa) dan harapan akan sejarah di Aceh.

Brigjen Yudi Yulistyanto menuturkan itu saat tampil sebagai narasumber diskusi sejarah di Sekretariat Bersama Mapesa dan Pedir Museum di Banda Aceh, Sabtu, 15 Maret 2025. Narasumber lainnya dalam diskusi tersebut, Peneliti Sejarah dan Kebudayaan Islam Asia Tenggara, Abu Taqiyuddin Muhammad.

Mapesa mengundang Yudi Yulistyanto menjadi narasumber diskusi itu lantaran selama ini ia ikut serta dalam upaya melestarikan tinggalan sejarah di Aceh.

Baca juga: Diskusi di Mapesa: Peneliti Paparkan Tujuan Rekonstruksi Sejarah Aceh

Akar Ketertarikan Sejarah

Dalam diskusi dipandu Direktur Pedir Museum Masykur Syafruddin itu, Yudi Yulistyanto mengungkapkan ketertarikan dirinya dengan sejarah dimulai sejak kecil. Ketika Yudi disuguhkan cerita dari kakek-neneknya yang tidak sempat ia jumpai. “Tetapi saya mendengarnya dari orang yang mengenal beliau, ini akan lebih objektif”.

“Kisah menarik yang saya ketahui adalah; kakek saya yang seorang pejuang. Dulu bapak saya meminta kakek saya untuk menyediakan data untuk didaftarkan menjadi veteran perang. Tetapi jawaban kakek saya: ‘Kakek dulu berjuang karena tuntutan zaman, semua kawan-kawan berjuang. Lucu ketika kakek mencari negara untuk mengakui perjuangan kakek. Harusnya negara yang hadir mencari kami para pejuang’,” ungkap Yudi.

Jawaban tersebut membuat Yudi sampai merenung hebat. “Hingga meninggal, kakek saya tidak punya gelar apa-apa”.

Yudi menjelaskan ia datang ke Aceh dengan impian yang besar. “Saya selalu greget ketika Belanda berbicara tentang hak asasi manusia. Ketika Belanda berbicara tentang HAM yang terkesan mendikte dan memaksakan standar mereka, padahal bukti pelanggaran HAM mereka sangat banyak di seluruh penjuru Indonesia, termasuk Aceh,” ujar Yudi, dikutip Line1.News, Sabtu, 22 Maret 2025, dari rangkuman materi yang ia paparkan dalam diskusi tersebut.

Ekspektasi Tinggalan Sejarah di Aceh

Menurut Yudi, salah satu yang ia cita-citakan kalau ke Aceh, “Saya akan ke Benteng Kuta Reh”. Di benteng itu pejuang Aceh dengan sangat hebat membangun pertahanan dan bagaimana Belanda merancang strategi terhadap perjuangan pejuang Aceh.

“Demikian juga ketika berada di Ujung Pandang, di sana ada jalan (namanya) Korban 40.000, atau biasa dikenal dengan Pembantaian Westerling”.

Melansir Wikipedia.org, Pembantaian Westerling adalah sebutan untuk peristiwa pembunuhan ribuan rakyat sipil di Ujung Pandang, Makassar, Sulawesi Selatan, yang dilakukan oleh pasukan Belanda Korps Speciale Troepen pimpinan Raymond Pierre Paul Westerling. Peristiwa ini terjadi pada Desember 1946-Februari 1947 selama operasi militer Counter Insurgency.

Di lokasi itu, Pemerintah Kota Makassar pada tahun 1972 membangun Monumen Korban 40.000 Jiwa, untuk mengenang perjuangan rakyat Sulawesi Selatan dalam mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia 1945.

Yudi menyampaikan ketika ia berkunjung ke Kuta Reh, dirinya merasa sedih karena terlalu berekspektasi. “Saya pernah ke Waterloo (Pertempuran Waterloo, 1815) dan juga ke Gettysburg (Perang saudara Amerika di Pennsylvania, 1-3 Juli 1863), semua bukti sejarahnya terpelihara dengan baik. Tetapi di Kuta Reh, tidak”.

“Sama juga ketika saya berkunjung ke Radio Rimba Raya, sangat minim informasi yang tersedia di monumen tersebut,” tutur Yudi.

Keunikan Sumber Sejarah di Aceh

Yudi menyebut di Aceh ada berbagai layer (sumber) yang bisa menjadi bukti sejarah. “Tetapi belum ada atau masih sedikit yang tertulis dengan baik, bisa jadi terbakar, hilang dalam peperangan, dan lain sebagainya”.

“Untungnya nisan berinskripsi itu memuat informasi yang bisa menjadi sumber sejarah. Jika tidak ada nisan, ada cap (stempel), atau mata uang (keuh),” ujar Yudi.

Yudi juga menegaskan hebatnya teman-teman Mapesa, tidak pernah merasa menjadi kelompok yang berjasa terhadap sejarah Aceh. “Mapesa hanya memaparkan sejarah berdasarkan data dan fakta di lapangan”.

“Sayangnya dari data-fakta tersebut bukan jadi perdebatan akademik, tapi justru dimanipulasi dan dijadikan bahan menghujat kanan-kiri (oleh pihak tertentu)”.

“(Padahal) menurut sejarawan, sejarah itu bisa membangkitkan semangat berbangsa dan memupuk identitas. Itu yang seharusnya bisa digali dari data-fakta sejarah ini,” tegas Yudi.

Lihat pula: [Foto] Diskusi Rekonstruksi Sejarah Aceh di Sekretariat Bersama Mapesa-Pedir Museum

Kesan terhadap Mapesa

Di bagian kedua diskusi tersebut, Yudi membahas eksistensi Mapesa dan harapan akan sejarah di Aceh.

“Belum ada komunitas sejarah militer di Aceh, tetapi saya justru bertemu dengan teman-teman Mapesa,” ucapnya.

Yudi menilai teman-teman Mapesa bukan sekadar kelompok peduli sejarah, tetapi sekolompok orang yang mencari ketenangan spiritual.

“Jadi, jika kita kaitkan spiritual hanya dengan ritual agama, itu hanya sebagian kecil dari spiritual. Tetapi berkumpul dan berdiskusi, itu adalah bagian dari pencarian spiritual. Saya hampir tiap malam di sini, Sekretariat Mapesa untuk nongkrong berdiskusi, sampai lupa waktu sudah tengah malam”.

Harapan akan Sejarah di Aceh

Yudi menyatakan dua hal yang ia yakini sekarang; Aceh pada masa silam adalah kerajaan Islam dan kerajaan maritim. Namun, dia bertanya ke teman-teman Mapesa, “Di mana kapalnya?” Itulah mengapa perlu bukti bahwa Aceh adalah kerajaan maritim.

“Sultan Iskandar Muda sangat banyak armada kapal, masa sih kita tidak menemukan satu saja yang tenggelam. Di Rembang, Jawa Tengah, kapal dari abad ke-7 Masehi saja sudah ditemukan. Walaupun itu kapal logistik, bukan kapal perang”.

“Di Bangka Belitung juga ditemukan, dan dibeli oleh Singapore (Singapura), dan otomatis menjadi milik Singapore”.

Menurut Yudi, salah satu yang menjadi prioritas kita sekarang adalah situs Lamuri (Lamreh), karena sudah bertebaran bukti dan sumbernya. “Untung juga tidak jadi lapangan golf, karena bagaimana jika suatu saat datang peneliti dari India atau Inggris ingin meneliti, padahal situsnya tidak ada lagi?”

Yudi menambahkan, “Kita juga kehilangan pengrajin seperti nisan, pedang, dan sebagainya di Aceh. Padahal keahlian ini diwarisi lewat DNA”.

“Kita bisa menyekolahkan mereka dan nanti memberi informasi tentang sejarah ukiran dan sebagainya, Insya Allah, bisa hidup kembali ukiran tersebut,” ucap Yudi Yulistyanto.[]

 

Komentar

Tanggapilah dengan bijak dan bertanggung jawab. Setiap tanggapan komentar di luar tanggung jawab redaksi. Privacy Policy