Banda Aceh – Kepala Dinas Pendidikan Aceh, Marthunis, mengatakan mutu pendidikan diukur dengan kompetensi (akademik atau vokasi) dan karakter.
Marthunis menyampaikan itu saat dikonfirmasi Line1.News tentang pengadaan sarana kebersihan tempat sampah jenis plastik HDPE murni untuk SMAN delapan kabupaten/kota.
“Secara relevansi, kegiatan pengadaan sarana kebersihan tempat sampah itu bagian dari fasilitasi pembentukan perilaku hidup bersih dan sehat. Ini termasuk pembentukan karakter,” kata Marthunis melalui pesan Whatsapp, Kamis sore, 24 April 2025.
Menurut Marthunis, mananajemen sekolah nanti yang menjalankan program pembiasaan perilaku bersih dan sehat seperti pemilahan sampah dan buang sampah pada tempatnya.
Secara program nasional, lanjut Marthunis, ada program GSS (Gerakan Sekolah Sehat) yang salah satunya adalah sehat lingkungan. “Juga ada program Sekolah Adiwiyata, sekolah ramah lingkungan,” ujarnya.
Marthunis menyebut Dinas Pendidikan Aceh juga menganggarkan kegiatan strategis untuk peningkatan mutu pendidikan lainnya. Misalnya, Revitalisasi Pendidikan Vokasi (Rp69,5 M), Penguatan STEM (Rp13.4 M), Digitalisasi Pendidikan (Rp6,2 M), dan Pemenuhan Sarpras Sekolah (Rp51,4 M).
Namun, Marthunis tidak menjawab pertanyaan: apakah sembilan paket pengadaan sarana kebersihan tempat (tong) sampah jenis plastik HDPE murni untuk SMAN delapan kab/kota sudah direalisasikan, atau sedang dalam proses? Mengapa hanya untuk SMAN delapan kab/kota?
Baca juga: Pengamat Kritik Dinas Pendidikan Aceh Soal Proyek Tong Sampah untuk SMAN 8 Kab/Kota Rp7 Miliar
Diberitakan sebelumnya, Dinas Pendidikan Aceh menganggarkan sembilan paket pengadaan sarana kebersihan tempat sampah jenis plastik HDPE murni untuk SMAN delapan kabupaten/kota total pagu Rp7 miliar.
Data itu dilihat Line1.News, Kamis, 24 April 2025, dalam Rencana Umum Pengadaan (RUP) Dinas Pendidikan Aceh tahun anggaran 2025.
Sembilan paket pengadaan sarana kebersihan tempat sampah jenis plastik HDPE murni itu, dua di antaranya untuk SMAN Kabupaten Bireuen masing-masing dengan pagu Rp900 juta dan Rp700 juta. Tujuh paket lainnya untuk SMAN Kabupaten Aceh Besar pagu Rp1 miliar (M), Aceh Utara Rp1 M, Aceh Timur Rp1 M, Aceh Tamiang Rp700 juta, Aceh Tengah Rp700 juta, Kota Lhokseumawe Rp500 juta, dan Langsa Rp500 juta.
Sembilan paket pengadaan barang bersumber dari APBA tahun 2025 dengan metode pemilihan e-purchasing itu diumumkan pada 10 Maret 2025.
‘Tidak Menjawab Masalah Pendidikan Aceh’
Pengamat Pendidikan, Doktor Samsuardi, mengkritik kebijakan pengadaan tong sampah untuk SMAN delapan kab/kota di Aceh itu. Dia menilai langkah ini tidak relevan dan mencerminkan kegagalan prioritas di bawah kepemimpinan Kepala Dinas Pendidikan Aceh, Marthunis.
Ketua Lembaga Pemantau Pendidikan Aceh (LP2A) itu menyebut kebijakan tersebut sebagai ironi yang menyakitkan di tengah banyaknya persoalan mendasar di sektor pendidikan Aceh. Samsuardi mempertanyakan urgensi pengadaan fasilitas pendukung yang seharusnya bisa dipenuhi oleh sekolah melalui dana operasional.
“Ini keputusan yang sama sekali tidak menjawab masalah inti pendidikan Aceh. Literasi dan numerasi siswa rendah, kualitas pengajaran masih lemah, pelatihan guru minim, tapi yang dipilih adalah proyek tong sampah,” kata Samsuardi akrab disapa Doktor Sam dalam pernyataannya diterima Line1.News, Kamis siang (24/4).
Doktor Sam menuding kebijakan itu lahir dari pendekatan birokrasi yang tidak memahami kebutuhan riil satuan Pendidikan. Dia menyebut Kadis Pendidikan Aceh gagal dalam menyusun skala prioritas kebijakan.
“Tong sampah bisa dibeli sekolah dengan dana BOS [Bantuan Operasional Sekolah]. Mengapa harus intervensi provinsi, dengan nilai fantastis dan jangkauan terbatas pula? Ini bukan hanya tidak sensitif, tapi juga mencurigakan,” tegas Doktor Sam.
Proyek yang hanya menyasar delapan dari 23 kab/kota di Aceh itu, menimbulkan pertanyaan serius tentang kesetaraan akses dan dasar analisis kebijakan. Doktor Sam menyebut proyek ini lebih mirip upaya “serapan anggaran” ketimbang jawaban atas kebutuhan pendidikan.
“Jika memang darurat, kenapa tidak semua daerah dapat? Dan kalau tidak darurat, kenapa anggarannya sebesar itu? Logikanya tidak nyambung,” kata Doktor Sam.
Doktor Sam meminta Kadis Pendidikan Aceh membuka seluruh dokumen perencanaan dan pengadaan proyek secara transparan. Menurut dia, penggunaan anggaran publik tanpa akuntabilitas adalah bentuk pelanggaran terhadap kepercayaan masyarakat.
“Marthunis harus tampil dan bertanggung jawab. Jangan bersembunyi di balik jargon pembangunan. Publik berhak tahu, dan jika ini proyek tanpa urgensi, maka ini adalah pemborosan yang harus diusut,” tegas Doktor Sam.
Doktor Sam menilai pendidikan Aceh tidak akan pernah maju jika kebijakannya terus berputar pada proyek simbolik. “Yang dibutuhkan adalah intervensi pada substansi: guru yang kompeten, pelatihan bermutu, bahan ajar yang layak, dan manajemen sekolah yang profesional. Bukan proyek tong sampah yang hanya memperindah laporan keuangan,” pungkasnya.[]
Komentar
Tanggapilah dengan bijak dan bertanggung jawab. Setiap tanggapan komentar di luar tanggung jawab redaksi. Privacy Policy