Banda Aceh – Puluhan jurnalis Aceh yang tergabung dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), Pewarta Foto Indonesia (PFI), dan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), menggelar aksi penolakan revisi Undang-Undang Penyiaran versi Maret 2024, yang memuat larangan penayangan eksklusif jurnalistik investigasi.
Aksi damai para jurnalis yang menamakan diri Gerakan Jurnalis Aceh Bersatu tersebut dilakukan di depan kantor Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) di Banda Aceh, Senin, 27 Mei 2024.
Ketua PWI Aceh Nasir Nurdin menyatakan menolak pasal-pasal bermasalah dalam revisi Undang-Undang Penyiaran yang sedang dibahas di DPR RI. “RUU Penyiaran yang kontroversial mengancam kebebasan pers, demokrasi dan HAM di Indonesia,” ujarnya.
Ketua AJI Banda Aceh Juli Amin juga menyatakan keberatan apabila RUU Penyiaran dilegalkan karena menghambat kinerja jurnalis dalam berita investigasi. “Kita khawatirkan, ketika pasal 50 B disahkan DPR RI, kita tidak bisa menayangkan lagi hasil investigasi. Investigasi adalah ruhnya jurnalistik, apabila dipotong sama dengan membunuh pers di Indonesia,” tegas Juli Amin.
Secara khusus, para pewarta Aceh meminta DPR RI melibatkan organisasi pers, akademisi dan masyarakat sipil dalam penyusunan kebijakan yang berkaitan dengan kebebasan pers dan kebebasan berekspresi.
Mereka juga meminta pemerintah tidak mengangkangi semangat reformasi dengan melemahkan kerja-kerja pers melalui kebijakan yang mengekang kemerdekaan pers.
Di ujung aksi, para jurnalis meminta DPR Aceh mengeluarkan pernyataan resmi penolakan pasal-pasal bermasalah dalam RUU Penyiaran dan mengirimkannya ke DPR RI.
Menurut Ketua ITJI Aceh Munir Noer, DPR Aceh memberikan respon positif ketika perwakilan peserta aksi bertemu dengan Ketua DPRA Zulfadli. “Perwakilan kita diterima dengan baik, mereka siap membawa aspirasi kita ke Jakarta. DPRA siap mendukung keinginan kita semua,” ujar Munir.
Petisi tuntutan jurnalis Aceh diterima Zulfadli yang kemudian menandatanganinya. “Sudah saya terima dan ditindaklanjuti. Saya tanda tangan, saya ajak pimpinan dan komisi I supaya ini di-stempel dan legal,” ujar Zulfadli di depan para jurnalis.
Menurut Nasir Nurdin, pimpinan DPR Aceh telah bersepakat membuat surat resmi secara kelembagaan terkait penolakan RUU penyiaran tersebut. Surat itu akan ditujukan kepada DPR RI dengan menyertakan poin-poin tuntutan jurnalis Aceh.
Juli Amin berharap surat itu secepatnya dikirimkan ke DPR RI. “Sehingga dapat menjadi catatan penting bagi pembuat UU di pusat.”
Berikut poin-poin tuntutan penolakan RUU Penyiaran oleh jurnalis Aceh:
- Ancaman kebebasan pers lewat larangan jurnalisme investigasi dan ambil alih wewenang Dewan Pers oleh KPI (Pasal 42 dan Pasal 50 B ayat 2c RUU Penyiaran)
- Kewenangan KPI untuk melakukan penyensoran dan pembredelan konten di media sosial.
- Konten siaran di internet wajib patuh pada Standar Isi Siaran (SIS) dapat mengancam kebebasan pers dan melanggar prinsip-prinsip HAM (Pasal-pasal 34 sampai 36)
- Pembungkaman kebebasan berekspresi lewat ancaman kabar bohong dan pencemaran nama baik (Pasal 50 B ayat 2K).
- Melanggengkan kartel atau monopoli kepemilikan lembaga penyiaran. Pada RUU Penyiaran ini menghapus pasal 18 dan 20 dari UU Penyiaran Nomor 32/2002.[]
Komentar
Tanggapilah dengan bijak dan bertanggung jawab. Setiap tanggapan komentar di luar tanggung jawab redaksi. Privacy Policy