Ekolog Selandia Baru Sebut Nilai Hutan Aceh Rp12 Triliun Per Tahun

Hutan di Kawasan Ekosistem Leuser
Hutan di Kawasan Ekosistem Leuser. Foto: haka.or.id

Banda Aceh – Ekolog dan konservasionis asal Selandia Baru, Mike Griffiths, mengungkapkan nilai ekonomi dari keanekaragaman hayati di hutan Aceh mencapai Rp12 triliun per tahun.

“Hutan di Aceh memiliki keanekaragaman hayati yang banyak, nilai ekonomisnya bisa mencapai Rp12 triliun per tahun, sedangkan kerugian kalau semua lowland forest (hutan dataran rendah) hilang itu mencapai Rp3,8 triliun per tahun,” ujar Mike saat menjadi pembicara tamu seminar Internasional Pekan Raya Leuser di Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Syiah Kuala Banda Aceh, Selasa, 3 Desember 2024.

Hutan Aceh, khususnya di Kawasan Ekosistem Leuser (KEL), kata Mike, mempunyai keanekaragaman hayati sangat kaya dibandingkan hutan di negara lain seperti Amerika. Dari temuannya, setiap hektare hutan di KEL terdapat 300 spesies pohon dan 40 ribu lebih spesies jenis serangga mulai dari berukuran kecil hingga besar.

“Ini baru per hektare, kalau hutan di negara lain seperti Amerika mungkin per hektarenya hanya terdapat sekitar belasan pohon dan serangga,” ungkapnya dilansir dari Antara, Kamis, 5 Desember 2024.

Hutan Aceh, tambah Mike, salah satu aset terpenting yang sangat berpotensi bagi pembangunan ekonomi. Besarnya potensi tersebut dapat dirasakan jika kelestarian hutan tetap terjaga.

“Keanekaragaman hayati ini adalah anugerah yang luar biasa. Jika dikelola dengan baik, Aceh bisa menjadi contoh global dalam konservasi dan pemanfaatan ekonomi hutan,” ujarnya.

Mike menyayangkan potensi sebesar itu belum sepenuhnya disadari oleh Pemerintah Aceh. Ia juga menyoroti berkurangnya tutupan hutan Aceh akibat fragmentasi pembangunan jalan di kawasan hutan yang turut mengancam keberlangsungan hidup satwa-satwa kecil dan berkontribusi pada kepunahan.

“Ketika dibangun jalan, maka akan muncul perkebunan, permukiman, dan mudahnya terjadi pembalakan liar atau ilegal logging. Ketika adanya fragmentasi tersebut, maka satwa-satwa kecil akan punah.”

Sekilas Tentang KEL

Menut Yayasan Hutan, Alam, dan Lingkungan Aceh (HAkA), KEL merupakan salah satu ekosistem hutan hujan tertua di dunia. KEL ditetapkan menjadi Cagar Biosfer oleh MAB-UNESCO, sebagai zona penyangga dari Taman Nasional Gunung Leuser.

“Pengelolaan KEL Aceh dilakukan oleh Pemerintah Aceh, diatur dalam UUPA dan telah ditetapkan sebagai Kawasan Strategis Nasional dengan sudut pandang Lingkungan Hidup,” tulis HAkA di situsnya.

KEL mencakup Aceh dan Sumatra Utara. Luasnya lebih dari 35 kali ukuran Singapura. “Ekosistem yang megah dan kuno ini mencakup lebih dari 2,6 juta hektare hutan hujan dataran rendah, rawa gambut, hutan pegunungan dan pesisir, padang rumput alpine dan kawasan budidaya.”

Kawasan tersebut juga menjadi tempat terakhir dunia di mana orangutan, badak, gajah, dan harimau hidup berdampingan di alam liar. Keempat spesies ini sekarang diklasifikasikan oleh International Union for Conservation of Nature (IUCN) sebagai ‘Sangat Terancam Punah’. KEL satu-satunya habitat yang tersisa di Sumatra, yang cukup besar untuk menopang populasi spesies tersebut.[]

Komentar

Tanggapilah dengan bijak dan bertanggung jawab. Setiap tanggapan komentar di luar tanggung jawab redaksi. Privacy Policy