Komisi Independen Pemilihan atau KIP Aceh akan menggelar debat terbuka perdana antarpasangan calon gubernur dan wakil gubernur Aceh di Banda Aceh, Jumat, 25 Oktober 2024, malam ini. Salah satu topik debat itu, ‘Mewujudkan tata kelola pemerintahan Aceh yang transparan, akuntabel, dan berdaya saing global’.
Lewat tema ini, publik bakal tahu apakah kedua paslon di Pilkada Aceh 2024 punya gagasan konkret terkait topik tersebut. Publik Aceh tentu berharap paslon nomor urut 1 Bustami Hamzah-M. Fadhil Rahmi versus nomor urut 2 Muzakir Manaf-Fadhlullah beradu argumen secara kritis dan mendalam mengenai topik itu. Kedua paslon diharapkan mengungkapkan pemecahan masalah dengan menggunakan logika dan pemikiran rasional. Jika tidak, debat antarpaslon tersebut sebatas akrobat politik yang sudah dipertontonkan paslon-paslon di Pilkada lalu.
Pilkada 2017, KIP Aceh mengangkat tema “Mewujudkan pelayanan birokrasi berkualitas” pada debat gelombang ketiga (terakhir) yang diikuti enam paslon gubernur-wagub. Tujuan dari tema tersebut sejalan dengan salah satu topik debat perdana paslon gubernur-wagub Aceh 2024. Pelayanan birokrasi berkualitas akan terwujud bila tata kelola pemerintahan benar-benar transparan dan akuntabel di tengah dinamika global yang semakin kompetitif.
Saat ini, Pemerintah Aceh punya sumber daya aparatur lebih dari 26.000 Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Dari jumlah itu, hampir 20.000 PNS dan lebih 6.000 PPPK. Komposisi PNS didominasi golongan III lebih dari 10.600 orang, diikuti golongan II lebih dari 1.500 orang. Sedangkan jumlah jabatan struktural dengan jenjang eselonering I.b sampai IV.b di lingkungan Pemerintah Aceh lebih dari 1.000 jabatan.
Namun, jumlah sumber daya aparatur “setambun” itu tak dibarengi kinerja mumpuni. Mari kita buka lembaran Laporan Kinerja Pemerintah Aceh atau LKjPA Tahun 2023, yang dirilis Maret 2024. Laporan ini mengungkapkan indikator kinerja ‘Indeks Profesionalitas ASN’ yang ditargetkan 77,5, realisasinya cuma 57,59 dengan capaian 70,19 persen. Nilai indeks 57,59 menggambarkan tingkat profesionalitas ASN di lingkungan Pemerintah Aceh berada dalam kategori sangat rendah. Ini perlu menjadi perhatian kedua paslon.
Masih seputar indeks. Kedua paslon mestinya juga fokus pada Indeks Pembangunan Syariat Islam (IPSI). Menurut LKjPA 2023, capaian IPSI masih mengacu nilai indeks tahun sebelumnya, 81,84 persen. Angka ini hasil survei pada 2021 bekerja sama dengan UIN Ar-Raniry.
Pelaksanaan syariat Islam di Aceh telah berjalan lebih 22 tahun. Menurut LKjPA 2023, akibat lemahnya akidah dan menurunnya akhlak dalam kehidupan masyarakat, terjadi peningkatan pelanggaran terhadap syariat Islam di bidang jinayah, terutama pada kasus khamar, zina, dan pemerkosaan. Peningkatan pelanggaran itu terjadi sejak 2013 sampai 2023.
Persoalan lain yang penting menjadi atensi para paslon, target pertumbuhan 10 persen per tahun terhadap APBA tidak tercapai. Capaian 2022 sebesar 1,7 persen, target 2023 sebesar 10 persen, tapi realisasinya minus 30,67 persen. Jumlah APBA yang sebelumnya Rp16 triliun menjadi Rp11 triliun pada 2023 akibat berkurangnya Dana Otonomi Khusus (Otsus)–sebelumnya dialokasikan dua persen dari total Dana Alokasi Umum (DAU) nasional berubah menjadi satu persen.
Dana Otsus untuk Provinsi Aceh diberikan berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Dana Otsus merupakan penerimaan Pemerintah Aceh untuk membiayai pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur, pemberdayaan ekonomi rakyat, pengentasan kemiskinan, serta pendanaan pendidikan, sosial, dan kesehatan. Data dalam Laporan Hasil Pemeriksaan BPK Atas Laporan Keuangan Pemerintah Aceh Tahun Anggaran 2023, provinsi ini telah menerima Dana Otsus sejak 2008 hingga 2023 mencapai Rp99.957.338.903.500, nyaris 100 triliun rupiah!
[EDITORIAL] Menanti Debat Mualem Vs Bustami: Isu Pengangguran Aceh
Ironisnya, ketika APBA mencapai Rp16 triliun lantaran besarnya Dana Otsus, tingkat kemiskinan Aceh malah tertinggi di Sumatra sampai sekarang. Patut diduga kondisi ini disebabkan para gubernur-wagub Aceh beberapa periode terakhir, para kepala SKPA dan pejabat di bawahnya serta staf, selama ini terlena dalam “zona nyaman”. Banyaknya uang Aceh mungkin membuat mereka bekerja dengan “nyaman”, sehingga minim terobosan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dan mendongkrak Pendapatan Asli Aceh, guna mengurangi ketergantungan pada pendapatan transfer dari pemerintah pusat.
Kini, kategori Kapasitas Fiskal Provinsi Aceh ‘sangat rendah’. Ini berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 84 tahun 2023 dan PMK 65/2024 tentang Peta Kapasitas Daerah.
Masalah berikutnya, kualitas sumber daya manusia (SDM) masih rendah. Menurut LKjPA 2023, tingkat rata-rata lama sekolah masyarakat Aceh 9,33 tahun, belum memenuhi target pendidikan universal 12 tahun. Rendahnya kualitas SDM juga dapat dilihat dari distribusi pengangguran yang disumbangkan penduduk tamatan SMA sederajat.
Di luar itu, masih banyak persoalan lain yang menjadi “PR” Pemerintah Aceh dalam upaya memenuhi harapan masyarakat luas. Hal ini perlu mendapat perhatian kedua paslon Pilkada Aceh 2024 dalam debat terbuka.
Dalam debat itu, Bustami-Syeh Fadhil dan Mualem-Dek Fad juga penting adu gagasan soal inovasi, sebab salah satu dari dua paslon ini akan memimpin Aceh lima tahun ke depan. Pemimpin memiliki peranan krusial dalam menciptakan inovasi.
“Inovasi-inovasi yang muncul di pemerintah kabupaten kota dan provinsi itu pasti ada leader-nya. Leader itu number one, inovasi itu harus top down, diinisiasi dengan pernyataan komitmen dulu oleh kepala daerah,” kata Eko Prasojo, Guru Besar Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, dalam Diseminasi Praktik Terbaik Pelayanan Publik, di Jakarta, 7 Oktober 2024.
Pemimpin daerah harus menginspirasi para pejabat dan staf (ASN) agar memiliki kemampuan dan keahlian untuk membuat program-program inovasi. Dalam pelayanan publik, inovasi memiliki peranan penting yang bertujuan membangun dan menjaga kepercayaan masyarakat.
Menurut Eko, tiga ukuran dalam program inovasi: berdampak terhadap masyarakat; bisa direplikasi untuk daerah lain; dan berkelanjutan. Namun, Eko menilai inovasi selama ini dilakukan berdasarkan kasus. Seharusnya, inovasi terintegrasi dengan perencanaan pembangunan saat penyusunan rencana strategis.
Dengan demikian, dibutuhkan kreativitas para pejabat dan staf pemerintahan. Mereka harus keluar dari “zona nyaman” dengan pola pikir dan budaya kerja harus sepenuhnya mendukung birokrasi yang efisien, efektif dan produktif, serta profesional. Dalam konteks Pemerintah Aceh, ini bergantung komitmen gubernur-wagub yang tidak boleh hanya duduk manis menikmati kue kekuasaan.[]
Komentar
Tanggapilah dengan bijak dan bertanggung jawab. Setiap tanggapan komentar di luar tanggung jawab redaksi. Privacy Policy