Digitalisasi Wilayah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal di Aceh

Digitalisasi Wilayah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal di Aceh
Kamaruddin Hasan, Dosen Program Studi Ilmu Komunikasi Fisipol Unimal. Foto: Dok Pribadi

Oleh: Kamaruddin Hasan (Dosen Program Studi Ilmu Komunikasi Fisipol Unimal)

Digitalisasi dalam semua lini kehidupan termasuk pelayanan publik terutama di daerah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal (3T), khususnya di Aceh tentu memerlukan pendekatan strategi holistik yang komprehensif, berkaitan dengan tantangan geografis, infrastruktur, dan sosial, budaya ekonomi dan hukum di wilayah 3T tersebut.

Provinsi Aceh yang masuk dalam kategori 3T pada 2024 meliputi beberapa pulau di perairan sekitar Aceh, seperti Pulau Weh, Pulau Nasi, Pulau Breuh, Pulau Banyak, Pulau Simeulue, Singkil, Gayo Lues dan lainnya. Bahkan banyak gampong di hampir seluruh kabupaten kota di Aceh ada yang masuk dalam 3T, bisa dengan kategori tertinggal, terluar atau terdepan. Tentu kawasan ini perlu mendapatkan perhatian khusus. Data Kominfo tahun 2024 menyebutkan saat ini masih ada 12.548 desa dan kelurahan yang belum mendapatkan layanan internet broadband di seluruh Indonesia.

Digitalisasi wilayah 3T menjadi tema menarik, bahkan dalam debat publik perdana Pilkada Aceh 2024 yang digelar KIP di Hotel Amel Convention Hall Banda Aceh, pada Jumat, 25 Oktober 2024, antarpasangan calon Gubernur-Wakil Gubernur Aceh nomor urut 1, Bustami Hamzah-M. Fadhil Rahmi, dan nomor urut 2, Muzakir Manaf-Fadhlullah.

Panelis debat telah menyiapkan tema digitalisasi khusus dalam pelayanan publik Aceh. Digitalisasi pelayanan publik dianggap lambat, terutama di daerah-daerah yang belum terjangkau internet (3T). Bagaimana strategi paslon mempercepat digitalisasi dan memastikan seluruh masyarakat dapat mengaksesnya. Pertanyaan tersebut menjadi bagian dari subtema ‘mewujudkan tata kelola pemerintahan Aceh yang transparan, akuntabel, dan berdaya saing global’. Kedua pasangan calon sepakat bahwa masalah sarana prasarana infrastruktur dan kolaborasi pemerintah pusat-daerah menjadi permasalahan utama.

Seperti diketahui, melalui Peraturan Presiden Nomor 63 Tahun 2020 untuk periode 2020-2024, program pemerintah di kawasan 3T meliputi perbaikan infrastruktur dan layanan dasar; pendidikan, kesehatan, serta akses air bersih dan sanitasi, yang secara berkesinambungan dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Kriteria utama wilayah 3T terutama kondisi geografis, sosial, ekonomi dan budaya yang kurang berkembang dibandingkan dengan daerah lain dalam skala nasional. Kriteria perekonomian, misalnya, meliputi tingkat kemiskinan, pertumbuhan ekonomi, pendapatan per kapita, dan indeks pembangunan manusia. Masyarakat dan sumber daya manusia dapat meliputi tingkat kesehatan, pendidikan, kependudukan, dan kearifan lokal. Berkaitan dengan sarana dan prasarana meliputi ketersediaan infrastruktur dasar seperti jalan, listrik, air bersih, telekomunikasi, dan transportasi. Termasuk kemampuan keuangan daerah yang meliputi potensi pendapatan asli daerah, belanja modal, dan kemandirian fiskal.

Permasalahan utama wilayah 3T yang dihadapi, misalnya, aksesibilitas yang buruk, sulit dijangkau karena jarak yang jauh dari ibu kota provinsi atau pusat pemerintahan, medan yang berat atau berbahaya, dan minimnya sarana transportasi yang memadai. Hal ini menyebabkan biaya logistik yang tinggi, kesulitan distribusi barang dan jasa, serta rendahnya mobilitas masyarakat.

Kualitas pendidikan yang rendah, masih memiliki angka buta huruf, putus sekolah, dan tidak sekolah yang tinggi dibandingkan dengan daerah lain. Hal ini disebabkan oleh kurangnya fasilitas pendidikan yang memadai, tenaga pendidik yang berkualitas, dan minat belajar masyarakat. Selain itu, kurikulum pendidikan juga belum relevan dengan kebutuhan dan potensi daerah setempat.

Kesehatan masyarakat yang buruk, masih memiliki angka kematian ibu dan anak, gizi buruk, penyakit menular dan tidak menular yang tinggi dibandingkan dengan daerah lain. Hal ini disebabkan oleh kurangnya fasilitas kesehatan yang memadai, tenaga kesehatan yang berkualitas, dan kesadaran masyarakat. Selain itu, faktor lingkungan seperti sanitasi, air bersih, dan polusi juga berpengaruh terhadap kesehatan masyarakat.

Kemiskinan dan ketimpangan sosial, masih memiliki pendapatan per kapita, pertumbuhan ekonomi, dan indeks pembangunan manusia yang rendah dibandingkan dengan daerah lain. Hal ini disebabkan oleh rendahnya produktivitas sektor pertanian, perikanan, dan pariwisata yang menjadi andalan daerah 3T. Selain itu, kurangnya akses modal, pasar, teknologi, dan informasi juga menjadi kendala bagi pengembangan usaha mikro, kecil, dan menengah. Akibatnya, banyak masyarakat daerah 3T yang hidup di bawah garis kemiskinan dan mengalami ketimpangan sosial.

Strategi yang dapat ditempuh dan diterapkan, membutuhkan kolaborasi, kerja sama dengan para pihak; pemerintah pusat daerah, masyarakat, sektor swasta, perusahaan, organisasi non-pemerintah (NGO), BUMN seperti Telkom dan lainnya, agar proses digitalisasi di wilayah 3T Aceh dapat berjalan lebih cepat, efektif dan efisien. Terutama dalam hal, pengembangan infrastruktur telekomunikasi dalam memanfaatkan jaringan fiber optik dan satelit, mengingat menjangkau wiayah 3T yang sulit dengan kabel fisik. Membangun lebih banyak menara BTS dan menyediakan akses internet satelit untuk daerah yang sulit dijangkau, serta menyediakan layanan 5G di daerah lebih padat diharapkan mendukung akses di 3T.

Dalam hal ini diperlukan kolaborasi yang kuat antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, serta pihak swasta dalam implementasi program digitalisasi. Terutama pemerataan kebijakan dan anggaran dalam pengalokasian anggaran untuk pembangunan digital daerah 3T. Pemerintah pusat dan daerah dapat mengalokasikan dana khusus untuk mendukung program digitalisasi di wilayah 3T.

Kemitraan dengan sektor swasta dan NGO bisa dilibatkan dalam mempercepat digitalisasi, seperti melalui bantuan CSR (Corporate Social Responsibility), program literasi digital, atau pemberian perangkat teknologi. Kemitraan ini dapat mempercepat adaptasi teknologi di daerah yang sulit dijangkau. Sehingga mampu memanfaatkan teknologi tepat guna yang sesuai dengan kebutuhan lokal, seperti aplikasi pertanian, peternakan, atau perikanan berbasis digital. Teknologi tepat guna yang mendukung produktivitas lokal akan mendorong masyarakat untuk lebih menerima dan menggunakan teknologi digital.

Termasuk bermitra dalam pemberdayaan ekonomi digital lokal, dengan mendorong UMKM lokal untuk masuk ke pasar digital melalui platform e-commerce. Pelatihan dan bantuan teknis dapat membantu mengembangkan bisnis secara daring, memperluas pasar dan meningkatkan perekonomian masyarakat. Pendampingan ini juga dapat mencakup literasi keuangan digital. Pembuatan platform lokal untuk pemasaran produk, membantu masyarakat mempromosikan produk lokal ke pasar yang lebih luas melalui platform khusus yang didukung oleh pemerintah daerah atau swasta.

Bagaimana selanjutnya memasukkan pendidikan digital ke dalam kurikulum sekolah serta memberikan pelatihan khusus bagi tenaga pendidik di daerah 3T akan memastikan generasi muda lebih siap dan paham teknologi. Pusat-pusat komunitas belajar seperti pustaka digital juga dapat dibangun untuk mendukung proses ini.

Peningkatan aksesibilitas melalui subsidi dan program cicilan untuk perangkat digital seperti smartphone serta laptop bagi masyarakat yang tidak mampu dengan harga terjangkau. Untuk mengurangi kesenjangan teknologi bagi masyarakat wilayah 3T, misalnya, dengan program internet gratis di lokasi publik seperti kantor gampong, sekolah, fasilitas kesehatan dan lainnya. Insentif berupa diskon atau promosi untuk masyarakat yang menggunakan layanan digital pemerintah, seperti pembayaran pajak lainnya melalui aplikasi, sehingga mempercepat adopsi digital.

Penerapan teknologi platform digital di semua sektor vital, penting untuk meningkatkan akses dan kualitas layanan di daerah terpencil. Selain itu, pengembangan layanan publik digital dengan memfasilitasi masyarakat dalam mengakses layanan administrasi pemerintahan secara online untuk mempermudah proses administratif dan lainnya.

Sepertinya, mendesak juga dilakukan adalah membentuk komunitas digital di tiap gampong wilayah 3T di Aceh. Masyarakat dapat belajar satu sama lain tentang cara menggunakan teknologi digital. Komunitas ini bisa menjadi wadah berbagi informasi dan solusi terhadap permasalahan digital sehari-hari. Dapat dilakukan dalam pengembangan konten digital yang relevan dengan budaya Aceh dan bahasa lokal. Selain membantu masyarakat merasa lebih nyaman dan familiar dengan teknologi digital. hal ini juga akan mempermudah pemahaman dan penerimaan teknologi digital.

Untuk selanjutnya dapat dilakukan pelatihan literasi digital dan teknologi bagi komunitas maupun masyarakat wilayah 3T. Dalam hal ini kolaborasi dengan lembaga pendidikan, sekolah, NGO dan universitas dapat menjadi mitra untuk menyelenggarakan program ini. Melakukan pelatihan digital untuk semua kelompok umur, termasuk pelatihan keterampilan dasar seperti menggunakan ponsel cerdas, mengakses internet, hingga cara bertransaksi digital.

Memang, proses transformasi digitalisasi wilayah 3T di Aceh bahkan wilayah 3T seluruh Indonesia, selain melahirkan peluang juga menghadirkan banyak tantangan. Terutama berkaitan dengan kebutuhan waktu, kebijakan, pemerataan, kecepatan internet, sumber daya, anggaran, kesiapan para pihak dan lainnya. Untuk itu, pemangku kepentingan perlu segera melakukan investasi dalam infrastruktur digital. Infrastruktur digital teknologi 5G dan Internet of Things (IoT), termasuk pemanfaatan drone untuk transportasi dan pengiriman dalam mengatasi masalah geografis, yang dapat dimanfaatkan untuk distribusi logistik dan kebutuhan lainnya, mesti segera diterapkan untuk mempercepat digitalisasi di berbagai sektor di wilayah 3T khususnya Provinsi Aceh. Semoga!

Komentar

Tanggapilah dengan bijak dan bertanggung jawab. Setiap tanggapan komentar di luar tanggung jawab redaksi. Privacy Policy