Di Jepang, Dua Dosen Pascasarjana USK Paparkan Peran Internasional Terhadap Proses Rehab-Rekon Aceh

Teuku Alvisyahrin dan Taqwaddin Husin
Teuku Alvisyahrin dan Taqwaddin Husin di Kobe, Jepang. Foto: Istimewa

Tokyo – Dosen Program Studi Magister Ilmu Kebencanaan Universitas Syiah Kuala (USK), Taqwaddin Husin dan Teuku Alvisyahrin, diundang ke Kobe University Jepang untuk menghadiri simposium memperingati 30 tahun Gempa Hanshin-Awaji Kobe.

Itu kunjungan ketiga kalinya bagi Taqwaddin dan Alvisyahrin ke Kobe University. Keduanya merupakan anggota kolaborasi riset aspek kebencanaan yang dipimpin Kobe University bersama mitra ahli dari beberapa negara Asia Pasifik sejak 2012.

Simposium digelar di Kobe University, Centennial Memorial Rokko Hall, pada Jumat, 17 Januari 2025, sekaligus memperingati gempa dahsyat Kobe pada 17 Januari 1995.

Di simposium internasional tersebut, keduanya mempresentasikan aspek hukum peran internasional melakukan pertolongan dan rehabilitasi-rekonstruksi pascatsunami Aceh 2004. Peserta simposium berasal dari Cina, Jepang, Brazil dan Indonesia, serta banyak negara lain yang mengikuti melalui Zoom Meeting.

Presentasi Taqwaddin dan Alvisyahrin diawali dengan menggambarkan dampak tsunami Aceh. Mengutip laporan Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) dan Badan Rehabilitasi Rekontruksi (BRR) Aceh-Nias, bencana itu menewaskan 230 ribu orang dan merusak banyak fasilitas publik. Di antaranya, merusak 139 ribu rumah, 60 ribu hektare lahan pertanian, 3.000 kilometer jalan, 14 pelabuhan laut, 11 bandara, 200 sekolah, 127 rumah sakit dan klinik, dan 3.000 masjid dan meunasah.

Dahsyatnya dampak gempa dan tsunami Aceh, sebut Taqwaddin, telah menimbulkan keprihatinan internasional, baik pemerintah negara asing maupun NGO Internasional dari berbagai belahan dunia berbondong-bondong datang ke Aceh dengan alasan kemanusiaan untuk melakukan pertolongan penanggulangan bencana.

“Bahkan untuk memberikan simpatinya, banyak kepala negara yang langsung mengunjungi Aceh, antara lain mantan Presiden Amerika, Presiden Turki, pimpinan Australia, Perdana Menteri Jepang, dan banyak lainnya,” ungkap Taqwaddin yang juga Hakim Tinggi Ad Hoc Tipikor dalam keterangan tertulis kepada Line1.News, dikutip Minggu, 19 Januari 2025.

Pertolongan itu dimulai dengan mengevakuasi korban, pengobatan, pemenuhan kebutuhan hidup, hingga rehabilitasi dan rekontruksi berbagai fasilitas publik dan rumah-rumah pribadi.

“Semua itu dilakukan secara sukarela oleh pihak internasional dengan dukungan anggaran yang besar sekali. Kami mencatat ada 34 negara sebagai donor utama yang memberikan bantuannya untuk membangun kembali Aceh dengan komitmen anggaran mencapai 6,7 miliar Dollar AS,” ujarnya.

“Satu hal penting perlu kami sampaikan bahwa adanya gempa dan tsunami dahsyat ini telah menimbulkan kesadaran bersama untuk mengakhiri konflik bersenjata antara Gerakan Aceh Merdeka dan Pemerintah RI sehingga melahirkan MoU Helsinki di Finlandia 15 Agustus 2005,” tambah Alvisyahrin.

Selain itu, keduanya menyampaikan di awal-awal usai tsunami, belum ada aturan khusus mengatur mekanisme atau prosedur lembaga internasional masuk ke Aceh Indonesia untuk memberikan pertolongan.

Karena konstitusi Undang-Undang Dasar 1945 dan kebijakan politik Indonesia yang menganut prinsip bebas aktif, kata Taqwaddin, negara ini membuka diri terhadap internasional. Baik terhadap pemerintah negara asing maupun lembaga-lembaga PBB seperti UNDP, UNICEF, UN HABITAT, UNESCO, dan lainnya.

Lahirnya Regulasi Kebencanaan

Untuk menutupi kekosongan hukum saat itu, tambah Taqwaddin, pada 2 Maret 2005 Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2005 kepada Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda agar segera mungkin mengambil langkah-langkah diperlukan.

Instruksi itu juga memerintahkan Hassan berkomunikasi dengan pihak internasional untuk melakukan respons tanggap darurat dan mempersiapkan proses rehab-rekon Aceh.

Sebetulnya, kata Alvisyahrin, sebelum ada instruksi itu, lembaga internasional sudah datang ke Aceh di hari kedua usai bencana.

Taqwaddin menambahkan, dengan pertolongan dari begitu banyak negara ketika Indonesia belum memiliki undang-undang (UU) yang mengatur pertolongan ataupun penanganan bencana, telah menimbulkan harapan bersama pimpinan pemerintahan untuk segera membentuk regulasi menangani masalah tersebut.

“Kemudian, lahirlah UU Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, yang dalam salah satu pasalnya mengatur tentang peran lembaga internasional,” ungkap Taqwaddin.

Penjabaran dari UU tersebut, diterbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 30 Tahun 2008 tentang Peran Lembaga Internsional dan Lembaga Asing Nonpemerintah dalam Penanggulangan Bencana.

“Adanya PP ini telah memberikan arahan yang jelas tentang kewenangan Pemerintah RI (Badan Nasional Penanggulangan Bencana) serta prosedur yang jelas maupun kemudahan dan larangan kepada pihak internasional yang terlibat dalam penaggulangan bencana di Indonesia,” ujarnya.

Mengakhiri presentasi, Taqwaddin dan Alvisyahrin mengucapkan terima kasih kepada negara-negara yang telah terlibat membantu proses recovery Aceh sehingga Aceh hari ini sudah jauh lebih baik dari sebelum tsunami (build back better).

“Saya akui, tsunami telah membawa hikmah yang begitu banyak untuk Aceh, yaitu adanya perdamaian yang mengkhiri konflik panjang yang sangat menderitakan. Lahirnya UU Kebencanaan dengan segala turunannya dan semakin membaiknya kondisi Aceh dalam 20 tahun terakhir ini,” pungkas Taqwaddin yang juga Ketua ICMI Aceh.[]

Komentar

Tanggapilah dengan bijak dan bertanggung jawab. Setiap tanggapan komentar di luar tanggung jawab redaksi. Privacy Policy