Cerpenis Ida Fitri Luncurkan Novel ‘Paya Nie’, Ungkap Kisah Perempuan Aceh Masa Konflik

Novel Paya Nie karya Cerpenis Bireuen Ida Fitri. Foto for Line1.News
Novel Paya Nie karya Cerpenis Bireuen Ida Fitri. Foto for Line1.News

Jakarta – Cerpenis Ida Fitri meluncurkan novel Paya Nie yang mengungkap kisah para perempuan Aceh selama konflik mendera Tanah Rencong.

“Novel Paya Nie merupakan narasi kehidupan keseharian perempuan Aceh di masa konflik, dengan elemen-elemen Aceh yang kental, seperti sejarah dan budaya,” ujar Ida dalam keterangan tertulis dikutip Rabu, 24 Juli 2024.

Paya Nie, kata Ida, adalah novel perdananya yang diterbitkan oleh penerbit nasional. “Novel ini diterbitkan oleh Marjin Kiri, salah satu penerbit independen di Indonesia yang menyajikan berbagai buku kritis,” ujar cerpenis kelahiran Bireuen, 25 Agustus 1981 tersebut.

Paya Nie dikerjakan Ida sejak 2019. Tahun lalu, novel ini meraih juara tiga pada Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta. Mei lalu, ABC News mendudukkan Paya Nie dalam daftar buku rekomendasi para penerbit indie.

Ida, yang lahir dan besar di masa konflik Aceh, menyimpan berbagai memori yang dituangkan dalam novelnya. Kenangan-kenangan tersebut menjadi bahan obrolan menarik antara tokoh-tokoh yang dibangunnya.

“Meskipun konflik Aceh telah menjadi kenangan kolektif masyarakat kita, tak banyak generasi Aceh saat ini yang tahu bahwa Aceh pernah didera konflik berkepanjangan,” ujar Ida.

Dalam konflik bersenjata, kata dia, pihak yang paling terbebani adalah perempuan. Padahal mereka tidak diberikan kuasa dalam membuat keputusan politik hingga konflik bersenjata terjadi.

Paya Nie berlatar belakang konflik panjang di Aceh, dengan narasi yang mengeksplorasi tema-tema seperti perjuangan, ketahanan, dan hubungan antarmanusia di tengah situasi sulit. Penggunaan kilas balik dan percampuran legenda lokal dengan kisah sejarah memberikan dimensi tambahan pada cerita, membuatnya menarik bagi pembaca yang menyukai narasi kompleks dan mendalam.

Melalui percakapan tokoh-tokohnya, pembaca dibawa ke masa lalu, menjelajahi lingkungan sekitar, desa mereka, sejarah kekerasan dan militerisme, serta kehidupan masing-masing wanita. Legenda lokal, kesaksian mata-mata, dan cerita-cerita lain dicampur bersama dalam kisah ini.

“Suara-suara orang kecil dan perempuan hampir tidak pernah didengar dalam membuat keputusan politik, padahal merekalah yang paling terdampak oleh keputusan tersebut,” ujar Ida.

Ida berharap, novelnya dapat memberikan tempat kepada orang-orang yang suaranya tidak didengar melalui narasi fiksi agar lebih mudah dipahami. “Dalam Paya Nie, aku ingin memberi tempat untuk suara-suara semacam itu.”

Ida Fitri merupakan cerpenis yang karyanya tersebar di berbagai media seperti Tempo, Jawa Pos, Serambi Indonesia, Media Indonesia, Suara Merdeka, Republika, dan Kedaulatan Rakyat. Kumpulan cerpennya antara lain Air Mata Shakespeare (2016), Cemong (2017) dan Neraka yang Turun ke Kebun Kelapa (2023). Saat ini, Ida mengabdikan diri di Dinas Kesehatan Kabupaten Aceh Timur.[]

Komentar

Tanggapilah dengan bijak dan bertanggung jawab. Setiap tanggapan komentar di luar tanggung jawab redaksi. Privacy Policy