Begini Nasihat Nabi Isa untuk Orang yang Selalu Mengeluhkan Rezeki

Ilustrasi mengeluh rezeki
Ilustrasi: NU Online

Dalam Kitâb al-Imtâ wa al-Mu’ânasah, Imam Abu Hayyan al-Tauhidi (w. 414 H) mencatat perkataan Nabi Isa ‘alaihissalam tentang pentingnya melihat palajaran dalam mencari rezeki.

Berikut riwayatnya: (yang artinya)

Isa ‘alaihissalam bekata: “Wahai anak cucu Adam, ambillah pelajaran rezekimu dengan burung di langit. Mereka tidak pernah menanam dan menuai (memanen). Tuhan langitlah yang memberikan mereka rezeki. Jika kau (anak cucu Adam) beralasan: ‘Mereka (burung) memiliki sayap.’ Maka ambillah pelajaran dari keledai dan sapi liar, (lihatlah) betapa gemuknya mereka, betapa banyaknya makan mereka dan betapa gempalnya tubuh mereka” (Imam Abu Hayyan al-Tauhidi, Kitâb al-Imtâ wa al-Mu’ânasah, Beirut: al-Maktabah al-‘Ashriyyah, 2011, h. 246).

Tidak sedikit orang yang mengeluh kekurangan rezeki dan nikmat. Sebagian bersedih, sebagian lagi marah. Perasaan kurang memang hampir selalu diekspresikan dengan kesedihan, keluhan, prasangka buruk dan amarah. Mungkin karena manusia lebih sering merasa disalahi daripada disayangi; dikorbankan daripada diperjuangkan, sehingga ia mudah marah, menyalahkan, mengeluh dan bersedih ketika sesuatu tidak berjalan sesuai keinginannya.

Perasaan seperti itu memang wajar terjadi di setiap manusia, karena perasaan manusia memang lebih kuat ketika berposisi sebagai objek (penderita). Contohnya, ketika kita dihina, amarah kita bangkit, dan ingatan kita tentang si penghina sangat kuat. Tapi, ketika kita yang menghina, kita menganggapnya biasa, bahkan tidak sering melupakannya begitu saja.

Oleh karena itu, Nabi Isa ‘alaihissalam menyuruh anak cucu Adam untuk mengambil pelajaran, terutama soal rezeki. Ia berkata (terjemah bebas): “Lihatlah burung yang terbang di kolong langit, ia bisa makan tanpa harus menanam dan memanen, karena Allah lah yang memberi mereka makan.”

Burung yang tidak difasilitasi kemampuan bercocok tanam, dapat memenuhi kebutuhannya. Lalu kenapa manusia yang diberikan banyak perangkat kemampuan, terus mengeluhkan rezekinya. Meskipun mengeluh itu wajar dan tidak haram. Setiap manusia berhak mengadukan keluhannya kepada Tuhan. Karena itu Tuhan memberikan hak berdoa kepada manusia.

Jadi, nasihat Nabi Isa di atas bukan soal boleh-tidaknya mengeluh, tapi lebih kepada bagaimana agar manusia bisa berkembang secara spiritual dan mental.

Artinya, nasihat di atas bertujuan mendidik jiwa manusia agar tidak rapuh dan mudah berputus asa, apalagi jika keputus-asaan itu dicarikan alasan logisnya, seperti perkataan (terjemah bebas): “Burung memiliki sayap, sedangkan kami tidak.” Kemudian Nabi Isa mengubah objek “i’tibâr”nya ke keledai dan sapi liar yang tetap gemuk, gempal dan banyak makannya tanpa bercocok tanam.

Dengan mengatakan itu, Nabi Isa sedang mengajari kita bahwa ada pelajaran dalam segala sesuatu. Jika cara pandang kita baik, pikiran kita jernih, dan iman kita kuat, kita akan menemukan bermacam-macam pelajaran dari setiap peristiwa hidup.

Sayyidina Luqman al-Hakim pernah berkata: “Sesungguhnya emas ditempa dengan api, dan orang beriman ditempa (diuji) dengan kesusahan (musibah)” (Imam Abu Hayyan al-Tauhidi, Kitâb al-Imtâ wa al-Mu’ânasah, 2011, h. 242).

Ini menunjukkan bahwa jiwa kita sebagai manusia harus berkembang. Tanpa ditempa dan diuji, perkembangan kita sebagai manusia akan terhenti. Jika perkembangan kita terhenti, kita hanya akan menjalani hidup yang berulang. Hari ini tidak ubahnya hari kemarin; hari esok tidak ubahnya hari ini.

Penjelasan sederhananya begini. Dengan adanya musibah, Allah sedang mendidik kesabaran kita agar bertambah, sehingga kita menjadi orang yang lebih sabar dari kita yang kemarin; dengan adanya limpahan anugerah, Allah sedang mendidik rasa syukur kita, sehingga kita menjadi orang yang lebih bisa mensyukuri nikmat daripada kita yang kemarin, dan begitu seterusnya.

Karena itu, Nabi Isa menyuruh kita untuk mengambil pelajaran dari burung, sapi dan keledai liar, agar kita bisa terus mendidik diri kita sendiri, terutama dalam cara pandang kita tentang rezeki. Perasaan kekurangan rezeki inilah yang paling sering memantik kekufuran, kemarahan dan keputus-asaan manusia.

Padahal, jika kita melihatnya lebih jauh, Allah selalu memberikan rezeki-Nya kepada kita, hanya saja kita tidak menyadarinya. Segala sesuatu yang ada di sekitar kita adalah rezeki-Nya, dari mulai udara yang kita hirup, tanah yang kita pijak, langit yang kita pandang, tangan yang kita gerakan, mata yang kita gunakan, sampai matahari yang kita rasakan. Itu semua adalah rezeki-Nya, tapi kita sering lupa menganggap semua itu sebagai rezeki-Nya.

Pertanyaannya, seberapa sering kita meluangkan waktu untuk mengambil pelajaran? Wallahu a’lam bish-shawwab.[]

Komentar

Tanggapilah dengan bijak dan bertanggung jawab. Setiap tanggapan komentar di luar tanggung jawab redaksi. Privacy Policy